28 Oktober 2008

Jarak Waktu antara Adzan dan Iqamah

Adzan disyari’atkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat. Oleh karena itu, diperlukan adanya perkiraan waktu yang memadai untuk bersiap-siap shalat dan datang ke masjid. Jika tidak demikian, hilanglah manfaat dan fungsi dari seruan adzan tersebut dan hilang pula kesempatan shalat jama’ah bagi banyak orang yang bermaksud untuk melaksanakannya. Sebab, jika orang sedang makan, minum atau buang hajat atau sedang dalam keadaan tidak berwudlu—pada saat adzan dikumdangkan — tidak diberikan kesempatan waktu untuk bersiap-siap, dia akan ketinggalan shalat jama’ah sepenuhnya atau sebagiannya disebabkan oleh ketergesaan dan tidak adanya jarak waktu antara adzan dan iqamah. Apalagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari masjid.

Dalam hadits Abdullah bin Zaid telah ditegaskan hal yang menunjukkan untuk memberikan jarak waktu antara adzan dan iqamah sebagai berikut: “Aku pernah melihat seseorang yang mengenakan dua baju berwarna hijau lalu berdiri di masjid kemudian mengumandangkan adzan. Setelah itu dia duduk sejenak kemudian berdiri lagi mengumandangkan hal yang sama dengan menambahkan kalimat: “Qad qaamatish shalah” (iqamah). “ Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Malaikat mengajarkan adzan kepadanya lalu memberi jarak waktu tidak lama kemudian mengajarkan iqamah kepadanya.” (Hadits Abu Dawud).

Al-Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz mengatakan: “Tidak boleh menyegerakan iqamah hingga imam memerintahkan. Jarak itu sekitar seperempat jam atau sepertiga jam atau yang mendekatinya. Jika imam terlambat dalam waktu yang cukup lama, diperbolehkan yang lainnya untuk maju menjadi imam shalat.” (Lihat kitab ar_Raudhul Murbi).

Imam lebih berhak menentukan iqamah. Oleh karena itu, seorang mu’adzdzin tidak boleh mengumandangkannya, melainkan setelah ada petunjuk darinya. Seorang mu’adzdzin lebih berhak menentukan adzan karena waktunya diserahkan sepenuhnya kepadanya, selain karena dia merupakan orang yang dipercaya dalam hal itu. (Lihat kitab Subulus Salaam karya ash-Shan’ani (II/95))

Abdul Aziz mengatakan: “Imam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap iqamah, sedangkan mu’adzdzin adalah orang yang bertanggung jawab terhadap adzan.” (Lihat hadits no. 216 dan 217 dari kitab Buluughul Maaram).

Sumber Bacaan:

  1. Sa’id bin Ali bin Wahf al_Aahthani. 2006. Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Jilid 1. Cetakan 1. Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M. Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Jakarta.

Yang Berhak Menjadi Imam

Ketentuan Imam dan Makmum dalam Shalat

Ketentuan Imam

  1. Muslim yang balig.
  2. Seorang laki-laki, kecuali semua makmumnya perempuan, imamnya boleh perempuan.
  3. Diutamakan orang tempatan, bukan tamu.
  4. Orang paling dulu hijrahnya (Islamnya).
  5. Paling fasih membaca al-qur’an.
  6. Paling menguasai al-qur’an.
  7. Paling menguasai al-hadits.
  8. Jujur dan akhlaknya terpuji.
  9. Sehat dan tidak mudah batal/lupa.
  10. Lebih tua umurnya, apabila syarat-syarat tersebut telah dipenuhi.

Kewajiban Imam

  1. Berniat membawa jamaah ke jalan yang benar menurut al-qur’an dan sunnah.
  2. Selalu bersikap adil, artinya menerapkan hukum berlaku kepada siapa saja, termasuk kepada keluarganya sendiri.
  3. Menghargai perbedaan pendapat dari semua jamaah.
  4. Memahami kejiwaan jamaah.
  5. Memberi kemudahan kepada jamaah.
  6. Tidak memanjangkan bacaan kecuali dengan kesepakatan jamaah atau dengan jamaah yang khusus.
  7. Menerima perbaikan dari jamaah jika telah berbuat salah atau keliru.
  8. Selalu memperhatikan kehadiran jamaah.
  9. Bertanya jika ada orang baru/tamu yang datang.
  10. Tidak berdoa untuk dirinya sendiri.

Kewajiban Makmum

  1. Mengikuti (taat) kepada imam.
  2. Tidak mendahului gerakan imam.
  3. Merapatkan dan mendahului barisan saf.
  4. Tidak mengambil hak mengimami kecuali dengan izin imam.
  5. Tidak membuat kegaduhan dan keributan.
  6. Mendengarkan bacaan imam ketika imam membaca dengan suara jahar (keras).
  7. Mengingatkan imam jika salah/keliru, bagi laki-laki dengan ucapan subhanallah dan bagi wanita dengan menepuk tangan.

Hadits-hadits tentang ketentuan imam dan makmum.

“Jika mereka bertiga, hendaklah salah seorang tampil menjadi imam, sedangkan yang lebih berhak menjadi imam yaitu yang terpandai dalam bacaan al-qur’an.” (HR Ahmad, Muslim, Nasai, dari Abu Said ra. Fiqh Sunnah: 118).

“Seorang imam itu diadakan untuk diikuti. Oleh karena itu, jika dia shalat dengan berdiri maka shalatlah dengan berdiri pula. Dan jika rukuk maka rukuklah kalian. Jika bangkit (dari rukuk) maka bangkitlah kalian. Jika dia sujud maka sujudlah kalian. Dan jika dia mengucapkan: ‘Allah mendengar orang yang memuji-Nya ,’ makaucapkanlah, ‘Wahai rabb kami, dan segala puji hanya bagi-Mu.’ “ (Muttafaqun ‘alaih).

“Yang lebih berhak menjadi imam bagi suatu kaum ialah yang terpandai membaca al-qur’an; kalau sama, maka yang terpandai dalam hadits; kalau sama, maka yang lebih dulu hijrah; kalau sama, maka yang lebih tua usianya. Janganlah seseorang menjadi imam orang lain di lingkungan kekuasaan orang tersebut ...” (HR Ahmad dan Muslim dari Ibnu Masud. Fiqh Sunnah: 119).

Abu Mas’ud al_anshari meriwayatkan Rasulullah bersabda: “Hendaklah yang mengimami suatu kaum orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya di antara mereka. Jika dalam hal bacaan, mereka sama, maka orang yang paling mengerti as-sunnah di antara mereka. Jika dalam hal pengetahuan tentang as-sunnah mereka sama, maka orang yang paling dulu hijrahnya di antara mereka. Jika dalam hal hijrah mereka sama, maka orang yang paling dulu masuk Islam. “dalam suatu riwayat, umurnya sebagai ganti masuk Islam”. Dalam riwayat lain, “yang paling tua umurnya”. (H.R. Muslim).

Meluruskan Barisan di dalam Shalat

Dari an-Nu’man bin Basyir diriwayatkan, dia berkata, Nabi bersabda:

“Kalian akan benar-benar luruskan barisan kalian atau Allah akan membalik wajah-wajah kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Anas diriwayatkan, Rasulullah bersabda:

“Luruskan barisan-barisan kalian, karena aku dapat melihat kalian di belakangku.” (HR. Bukhari).

Sementara dari Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda: “Luruskan barisan di dalam shalat, karena pelurusan barisan itu termasuk kebagusan shalat.” (HR. Bukhari).

Selanjutnya dari Ibnu Mas’ud, dia bercerita, “Rasulullah biasa meluruskan pundak-pundak kami dalam shalat seraya mengatakan: “Luruskan dan janganlah kalian tidak beraturan sehingga hati kalian pun akan menjadi kacau. Hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa dan berakal di antara kalian, kemudian disusul oleh yang berikutnya, dan setelah itu disusul lagi oleh yang berikutnya.” (HR. Muslim).

Dari Aisyah diriwayatkan , dia bercerita, Rasulullah telah bersabda: “Akan ada suatu kaum melambatkan berdiri dari barisan pertama sehingga Allah pun akan menangguhkan (keluar) mereka dari neraka.” (HR. Abu Dawud).

Dari Abdullah bin Umar diriwayatkan, Rasullah bersabda: “Barang siapa menyambung barisan niscaya Allah akan menyambung (hubungan) dengannya, dan barang siapa memutuskan barisan, maka Allah akan memutuskan (hubungan) dengannya.” (HR. An-Nasa’i).

Sumber Bacaan:

  1. Abu Ihsan. 2007. Penuntun Shalat untuk Anak-anak. Cetakan Keempat. Mizan. Bandung.
  2. Syaikh Abdul Aziz bin Nashir al-Musainid. 2007. Kumpulan Tanya Jawab Seputar Shalat. Cetakan Kedua. Almahira. Jakarta.