Dalam hadits Abdullah bin Zaid telah ditegaskan hal yang menunjukkan untuk memberikan jarak waktu antara adzan dan iqamah sebagai berikut: “Aku pernah melihat seseorang yang mengenakan dua baju berwarna hijau lalu berdiri di masjid kemudian mengumandangkan adzan. Setelah itu dia duduk sejenak kemudian berdiri lagi mengumandangkan hal yang sama dengan menambahkan kalimat: “Qad qaamatish shalah” (iqamah). “ Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Malaikat mengajarkan adzan kepadanya lalu memberi jarak waktu tidak lama kemudian mengajarkan iqamah kepadanya.” (Hadits Abu Dawud).
Al-Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz mengatakan: “Tidak boleh menyegerakan iqamah hingga imam memerintahkan. Jarak itu sekitar seperempat jam atau sepertiga jam atau yang mendekatinya. Jika imam terlambat dalam waktu yang cukup lama, diperbolehkan yang lainnya untuk maju menjadi imam shalat.” (Lihat kitab ar_Raudhul Murbi).
Imam lebih berhak menentukan iqamah. Oleh karena itu, seorang mu’adzdzin tidak boleh mengumandangkannya, melainkan setelah ada petunjuk darinya. Seorang mu’adzdzin lebih berhak menentukan adzan karena waktunya diserahkan sepenuhnya kepadanya, selain karena dia merupakan orang yang dipercaya dalam hal itu. (Lihat kitab Subulus Salaam karya ash-Shan’ani (II/95))
Abdul Aziz mengatakan: “Imam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap iqamah, sedangkan mu’adzdzin adalah orang yang bertanggung jawab terhadap adzan.” (Lihat hadits no. 216 dan 217 dari kitab Buluughul Maaram).
Sumber Bacaan:
- Sa’id bin Ali bin Wahf al_Aahthani. 2006. Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Jilid 1. Cetakan 1. Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar E.M. Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar