09 Juni 2009

Antara Orangtua dan Tontonan Anak

Orangtua masih bersikap double bounce (plin-plan) pada anak. Suatu saat dibolehkan, tapi pada saat lain dilarang.

Baca selanjuntya <<<<<

Tingkatan Berbuat Ihsan

”Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl [16] : 128).

Baca selanjutnya <<<<<

Tak Perlu Malu Berkata “Tidak Tahu’’

Ulama saja tidak gengsi berkata, “saya tidak tahu”, kenapa justru kita malu berterus terang kalau memang kita tidak tahu?

Seterusnya >>>>>>

Jabat Tangan antara Pria dan Wanita

Berjabat tangan antara sesama jenis atau antara seseorang dengan mahramnya adalah sesuatu yang dianjurkan di dalam Islam bahkan menjadi sarana untuk meluruhkan dosa-dosa diantara mereka yang berjabatan tangan.

Diriwayatkan oleh Bukhori dari Qatadah berkata: ”Aku berkata kepada Anas apakah berjabat tangan terjadi pada para sahabat Nabi saw?” Dia menjawab,”Ya.”

Selanjutnya>>>>>>

05 Juni 2009

Motivasi dan Mood Menulis

Prof. Dr. Joni Ermirzon, S.H., M.Hum., dosen Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya pada pelatihan Buku Ajar bagi dosen Universitas Sriwijaya (1-5 Juni 2009) mengakhiri penyampaian materinya dengan ucapan "Menulis itu bukan Momok tapi Pekerjaan yang Menyenangkan".

Kalau Saudara/Kita ditanya mengapa menulis?
Tentu jawabannya beragam, antara lain:
1. Menulis menyalurkan hobi;
2. Menulis untuk menyalurkan emosi;
3. Menulis sebagai sarana kritik sosial;
4. Menulis untuk menanggapi fenomena di masyarakat;
5. Menulis sebagai dakwah;
6. Menulis sebagai sumber nafkah, dll.


Sekedar mengingatkan bahwa menulis itu adalah keterampilan. Sehingga dengan sendirinya membutuhkan latihan yang rutin.
Untuk melatih diri dalam menulis butuh waktu, kita harus menyiapkan waktu khusus untuk menulis. Jangan menunggu siap dan ada mood, tapi harus menyiapkan waktu.

MOOD

= Banyak orang tidak produktif menghasilkan tulisan.
Banyak orang tidak ajeg menulis. Banyak yang memberi alasan: "Menulis apa?" Alias tak punya stok atau bahan yang bisa dirangkai menjadi sebuah tulisan. Kalau tidak demikian, "Ah, aku sedang nggak ada mood menulis."

= Mood menurut kamus Oxford adalah "the way you are feeling at a particular time". Suasana hati atau jiwa pada suatu saat. Karena itu, mood bisa (sedang) baik (good mood) dan bisa (sedang) buruk (bad mood), tergantung banyak hal.

= Tetapi yang menarik, karena mood adalah suasana hati, berarti good mood sebenarnya bisa dikondisikan dan bad mood bisa dicegah. Tetapi justru yang banyak terjadi adalah kita membiarkan good atau bad mood itu menimpa pada diri kita dan kita hanya pasrah jiwa raga.

Dalam paparannya Prof. Joni menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang bisa memupuk motivasi kita dalam menulis:
1. Memposisikan bahwa menulis adalah bagian dari ibadah kita;
2. Menulis adalah bagian dari perjuangan;
3. Menciptakan atau membentuk tempat untuk berkreasi dan meningkatkan kemampuan kita dalam menulis;
4. Bergabung dengan komunitas kepenulisan, bisa membantu kita mempertahankan dan mungkin meningkatkan motivasi menulis kita.

Motivasi dosen menulis buku ajar:
1. Memperlancar proses belajar mengajar;
2. Menambah popularitas;
3. Mencari kredit point;
4. Mengukir nama dengan tinta;
5. Meningkatkan kesejahteraan.

23 Mei 2009

Dicari Pemimpin Akhirat

Pemimpin sekarang tidak lagi membicaraakan masalah akhirat, yang keluar dari mulutnya selalu keduniaan, hingga mereka saat ini semakin jauh dari kriteria Islam. Uang menjadi syarat utamanya, bukan moral.

Seorang Menteri Besar Kelantan, Malaysia, Nik Aziz Nik Mat, hidup sangat sederhana. Ia sangat bisa membedakan mana milik negara dan pribadi. Dia menggunakan rumah dinas hanya untuk menyambut tamu negara. Selebihnya, pria sederhana ini tinggal di sebuah rumah kayu bersama keluarganya. Gajinya yang besar lebih banyak disumbangkan untuk beasiswa pelajar Malaysia.

Saat menyuguhkan minuman, Nik Aziz menggunakan gelas kaca yang bentuknya berbeda-beda. Itu pun hanya gelas biasa, yang mudah ditemukan di keramaian pasar rakyat yang dipimpinnya.

Farish Noor, politikus Malaysia, pernah bertemu dengannya tahun 1999. Ketika bertemu lagi sembilan tahun kemudian, Farish melihat pena plastik yang dibawa Nik Aziz sama saat ia bertemu pertama kali. Ketika menggunakannya, Nik Aziz tidak menekan keras penahnya, "Untuk menghemat tinta", kata sang Menteri Besar.

Tidak seperti pejabat yang biasanya membicarakan masalah pendapatan ekonomi atau situasi politik yang bersifat keduniaan semata. Pria kelahiran 1931 ini justru kerap berpidato masalah hidup sesudah mati. "Ingatlah!" tegasnya, "Dunia hanya bersifat temporal. Tidak ada yang hidup selamanya, baik itu yang kuat atau lemah. Yang miskin, atau yang kaya, kelak akan meninggalkan dunia ini."

Di Indonesia sekarang ini, pemimpin mana yang berkata seperti Nik Aziz Nik Mat? Pada 16 April lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, mengomentari kecurangan yang dituduhkan kepadanya. "Tuduhan membabi-buta, apalagi tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa pemilu ini curang dan hasil penghitungan suara KPU yang belum selesai juga dihakimi sebagai tidak benar, tentulah sikap yang prematur dan bukan politik yang baik," ujarnya.

Pada kesempatan yang berbeda, tujuh hari kemudian, Ketua Umum partai Golkar, Jusuf Kalla, berpidato maslah koalisi partai. "Golkar menentukan sendiri partai mana yang bisa menjalin kemitraan, bukan ditentukan kepada pihak yang memilih," katanya berapi-api dan mampu mengubah semangat keluarga besar partai beringin yang dipimpinnya.

Entah kapan SBY dan JK berbicara masalah keakhiratan. Yang jelas sekarang ini, keduanya sibuk memikirkan masalah keduniaan, mempersiapkan diri bertarungt menghadapi pemilu presiden mendatang.

Pemimpin Umat Islam
Dari kedua petarung kursi kepresidenan itu, manakah presiden umat Islam? Ketika ditanya seperti itu, Asep Sobari, pakar sirah nabawiyah, terlihat tersenyum. Menurutnya, masalah kepemimpinan politik memang penting tapi bukan segalanya. "Anggaplah seperti kita buang hajat di WC," ujarnya santai tapi serius.

Ungkapan ini muncul karena kekecewaan Asep dengan para calon pemimpin Indonesia yang tidak satu pun memenuhi kriteria Islam. "Tidak ada yang seperti Nabi Yusuf, sosok yang kuat berpendirian, dan amanah. Amanah itu menunjukkan keikhlasan yang luar biasa," katanya.

Asep berpendapat, pemimpin yang amanah mampu memosisikan dirinya sebagai perwakilan masyarakat yang dipimpinnya, sekaligus sebagai ciptaan Tuhgan di muka bumi ini. "Kelak, semua jejak langkahnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah."

Asep menuturkan kepemimpinan Umar bin Khattab yang sangat merakyat, sebuah contoh kempemimpinan ideal dalam sejarah Islam. Dia menilai, Umar adalah sosok yang terbuka untuk berdialog dengan umat Islam. "Umar adalah pemimpin yang melayani rakyat, bukan malah dilayani," jelasnya.

Ketika mempelajari Umar, Asep menemukan fakta, suatu ketika Umar merawat sendiri onta yang ditungganginya tanpa harus mengangkat staf khusus. Ketika onta itu sakit, Umar sendiri yang mengobatinya di bawah terik matahari. Sempat ada yang kasihan, kemudian menyarankan agar budak saja yang menyembuhkan onta itu ketimbang Umar. Umar menjawab, dirinyalah yang lebih budak karena harus melayani masyarakat banyak.

Dalam sebuah riwayat tentang Umar, Asep mengetahui, rumah pejabat di zaman Umar tidak boleh berpintu gerbang, agar rakyat dapat berdialog setiap saat. "Apalagi ada satpamnya, tidak boleh itu," ujar Asep.

Kalau musim haji tiba, Umar mengundang seluruh pejabantnya berkumpul di Arafah dan mengatakan kepada seluruh umat Islam, siapa saja yang pernah dizalimi Umar, maka mereka dapat meng-qishash Umar pada saat itu juga. "Begitulah pemimpin yang amanah," kata Asep.

Melahirkan pemimpin

Bagaimana cara melahirkan pemimpin yang amanah? Sejarawan ini menyimpulkannya dalam tiga kata, "butuh waktu lama." Setidaknya butuh 40 tahun untuk melahirkan generasi yang siap memimpin kejayaan umat Islam . Bisa jadi lebi dari itu.

Dia mengisahkan bunga rampai perjuangan hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, dalam memperbaiki umat Islam. "Untuk melakukan itu," ujarnya, "al-Ghazali terjun langsung, mendiagnosa penyakit umat Islam, dengan melahirkan karya-karya brilian."

Setelah melakukan itu, pengarang Ihya Ulumuddin ini baru memutuskan perlunya memfilter beberapa poin filsafat Ibnu Sina, menghubungkan antara tasawuf dan fikih. "Sekitar 100 tahun kemudian," tutur Asep, "Baru lahir generasi Salahuddin al-Ayyubi yang mampu membebaskan Yerussalem."

Dulu, Indonesia sempat melahirkan seorang pemimpin yang amanah, membela rakyat sepenu hati. Prasasti sejarah Indonesia telah mengukir nama M. Natsir sebagai sosok perdana menteri yang amanah kepada rakyat. Dia berani mengunjungi Aceh yang pada saat itu sedang konflik, ingin bercerai dari Indonesia.

Ketika berbicara dengan komanda Aceh, Natsir tahu Aceh tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Kemudian Natsir berkata, "Kalau begitu, besok saya akan mencopot jabatan saya sebagai perdana menteri."

Sang komandan bertanya-tanya, kenapa harus begitu. Kemudian Natsir menjawab, "kalau saya terus menjadi perdana menteri, saya akan mengirim pasukan untuk menghabisi saudara saya sendiri," tegasnya. Setelah mendengar jawaban itu, Aceh akhirnya enggan memisahkan diri.

Jika Natsir masih hidup, maka dia tidak akan bisa diam. "Ia akan menyelamatkan Indonesia yang sekarang ini kacau balau, " Kata M. Cholil Badawi, mantan Ketua PW Masyumi Magelang. Bisa dinilai, Natsir adalah sosok pemimpin yang penuh integritas dan bermoral tinggi.

Terkait dengan moral, Adnin Armas, Direktur Eksekutif INSIST (Institute for the study of Islamic Thought and Civilization) mengatakan, itulah syarat yang harus diperhitungkan. Setelah mengamati keadaan politik, dia kecewa dengan calon pemimpin sekarang ini yang sudah banyak mengorbankan harta. Dalam pandangannya, ia melihat pemimpin sekarang tidak lagi harus yang bermoral, padahal itulah syarat utama kepemimpinan dalam Islam.

"Jangan main-main dengan pemimpin! Dia harus memiliki kapasitas untuk berdakwah, bukan orang gila, apalagi kalau ingin dilayani," jelasnya. Adnin menilai, pemimpin sangat penting dalam islam, terlepas bentuknya bagaimana. Seperti yang dikatakan Imam Ghazali, pemimpin itu penjaga agama. Ibarat dua sisi uang logam yang tidak terpisah, kepemimpinan tidak bisa dipishkan dari agama.

"Ini penting," kata Adnin. Ulama terdahulu sudah membahas masalah kepemimpinan. Seperti al-Farabi dalam Ara Ahlul Madinah al-Fadhilah, al-Ghazali melalui Nashihatul Muluk, al-Mawardi yang menulis al-Ahkam as-Sulthaniyah, dan Ibnu Taimiyah dengan as-Siyasah as-Syar'iyyah.

Adnin mengisahkan jejak langkah penemu fonetika bahasa Arab, Abul Aswad ad-Duali. Semasa hidup dulu pernah mengatakan, pemimpin itu penguasa manusia, dan ulama itu penguasa pemimpin. "Bukan ulama yang mendengar penguasa bicara," jelasnya. Mengomentari ulama zaman sekarng yang dianggapnya telah mengecewakan umat. "Jangankan pemimpin, ulamanya saja tidak benar. Jadi penguasanya tidak mau mendengar mereka," tambahnya.

Semoga pemimpin masa depan mampu memperbaiki sistem kenegaraan Indonesia, mampu melahirkan generasi seperti para pemimpin yang disebutkan di atas.

Disalin ulang dari tulisan Erdy Nasrul dalam Majalah Islam Sabili No.22 TH.XVI 26 Jumadil Awal 1430.

15 Mei 2009

Mencari Pemimpin yang Islami

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang Mukmin. Apakah kamu ingin memberikan alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?" (QS: an-Nisa: 144).
Mencari Pemimpin yang Islami
Oleh KH A. Cholil Ridwan
Wakil Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI)
Pemimpin yang dicari adalah pemimpin dari orang-orang yang beriman, bukan dari kalangan sekedar memeluk agama Islam. Bukan hanya dari kalangan Muslimin, akan tetapi pemimpin Islam itu adalah dari kalangan Mukminin. Kategori Muslim itu memang banyak. Ada Muslim sekadar nama, sementara perilakunya jauh dari Islam dan tidak menjalankan rukun Islam. Ada juga yang dinamakan Muslim KTP, atau Muslim yang hanya KTP-nya beragama Islam, dan Muslim Idul Fitri, yaitu ibadah Islam yang dilakukan terbatas hanya shalat Idul Fitri setiap 1 Syawal sekali setahun.
Dalam surat al-Baqarah ayat 208 Allah memerintahkan orang-orang yang sudah beriman supaya masuk Islam lagi, karena Islamnya belum "kaffah", belum totalitas. Walaupun ibadah seorang Muslim sudah bagus, dia tetap dituntut untuk berperilaku islami dalam semua aspek kehidupannya. Aspek ekonomi, budaya, politik, teknologi dan terutama dalam pemikiran. Seorang Mukmin sejati adalah seorang Muslim yang mengamalkan semua ajaran Islam termasuk urusan ekonomi, politik dan manajemen pemerintahan. Masih menurut ayat di atas, bahwa siapa yang sengaja tidak meng-kaffah-kan dirinya dalam Islam dia akan dianggap menjadi pengikut setan yang telah ditetapkan sebagai musuh yang nyata. Jadi musuh umat Islam termasuk orang Islam yang tidak kaffah keislamannya terutama ketegori pimpinan dan aktivis organisasi Islam yang menolak syariat Islam diberlakukan untuk menata kehidupan, dan organisasinya tidak berasaskan Islam.
Pemimpin Islam yang ada sekarang di Indonesia ini adalah bukan pemimpin umat Islam. Mereka hanyalah pemimpin ormasnya atau pemimpin partainya atau pemimpin jamaahnya. Jadi pemimpin umat Islam Indonesia belum ada. Pemimpin yang benar-benar seorang Mukmin yang shalih dan muttaqin serta menyakini bahwa ajaran Islam merupakan kunci keselamatan dan kebahagiaan umat Islam Indonesia baik di dunia maupun di akhirat.
Sudah saatnya umat Islam bersepakat untuk mencari dan mengumpulkan sekian banyak calon pemimpin yang islami, kemudian memilih satu orang yang terbaik dari mereka untuk diakui, dan disepakati sebagai satu-satunya pemimpin umat Islam Indonesia. Karena pada hakikatnya, tidak boleh ada dua imam dalam shalat jamaah di satu masjid.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama fatwa se-Indonesia di Padang Panjang akhir Januarin yang lalu, memfatwakan batasan-batasan kriteria seorang pemimpin yang pada perinsipnya memiliki sifat-sifat utama Rasulullah SAW. Antara lain memiliki sifat shiddiq yaitu 'jujur atau benar'. Selalu membenarkan ajaran Islam dan semua perilakunya dibenarkan oleh Islam secara akidah maupun ibadah dan muamalah.
Sifat berikutnya adalah amanah, 'terpercaya'. Kalau diberi kepercayaan tidak dikhianatinya. sehingga Muhammad yang masih muda yang belum dinobatkan menjadi nabi, mendapat gelar "al-Amin". Maksudnya, pemuda Muhammad adalah orang yang tidak mungkin berbohong dan dia dipercaya sehingga semua orang menitipkan barang-barang berharganya kepada Muhammad al-Amin. Ketika beliau sudah menjadi nabi pun orang musyrik yang mestinya bermusuhan dengan beliau, masih menitipkan harta berharganya kepada Nabi Muhammad al-Amin.
Sifat berikutnya adalah tabligh, artinya 'menyampaikan'. Maksudnya aktif dan kreatif. Dia selalu menyampaikan apa yang harus disampaikan. Ada hadits yang maknanya, "Sampaikan dari aku walaupun satu ayat!" Sebelum dia sampaikan kepada orang lain dia terlebih dahulu mengamalkannya. Sifat yang berikut fathonah, maksudnya 'mempunyai kemampuan dan berkomitmen untuk menegakkan amar makruf dan nahi munkar'.
Walaupun demokrasi bukan berasal dari Islam dan pemilu adalah bagian dari demokrasi dan pilpres adalah bagian dari pemilu, umat Islam tidak boleh kehilangan momentum untuk menampilkan capres dari kalangan sendiri. Capres yang apabila dia terpilih, dia akan memperjuangkan diberlakukannya syariat Islam sebagai konstitusi dan menjadi hukum positif.
Kini kita sudah akrab dengan istilah bank syariah, asuransi syariah bahkan pengadaian syariah dan hotel syariah. Mengapa umat Islam tidak berani menampilkan capres dan cawapres syariah? Kemudian para tokoh di Masyarakat Peduli Syariah (MPS) dan Forum Umat Islam (FUI) segera menziarahi para ketua partai Islam dan partai berbasis umat Islam agar mereka siap berkoalisi dan bersedia mengusung capres-cawapres syariah. Setelah itu, koalisi ini juga menziarahi para pemimpin partai nasional untuk ikut bergabung mengusung capres-cawapres yang sama. Dengan demikian, insya Allah umat Islam yang berada di partai lain tapi setuju dengan syariah, akan mencontereng capres-cawapres syariah.
Ke depan, perjuangan memberlakukan syariat Islam secara konstitusional akan menjadi lebih bebas hambatan. Wallahu a'lam bishshawwab.
Diketik ulang dari Sabili No. 21 TH. XVI 12 Jumadil Awal 1430 halaman 56-57.

BERLOMBA KE NERAKA

Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Dengan ekspresi sedih, kata-kata itulah yang meluncur dari bibir Umar bin Abdul Aziz sesaat beliau dibaiat menjadi khalifah (Kepala Negara Islam).

Sebelumnya, Umar memang sudah berusaha keras menolak untuk diangkat menjadi Khalifah. Namun, umat tampaknya lebih keras lagi ‘memaksa’ agar beliau bersedia menjadi Khalifah. Lalu terjadilah pembaiatan itu. Akhirnya, dengan ikhlas dan ridha, Umar menerima baiat umat. Namun, hal itu tidak membuatnya tenang. Kegelisahan di dada ia bawa saat pulang ke rumahnya. Ia mengurung di kamarnya. Ia menangis. Dalam benaknya terbayang, jutaan rakyatnya siap menuntutnya dihadapan Pengadilan Allah pada Hari Kiamat nanti jika ia tidak bisa melayani, mengayomi dan melindungi mereka. Karena itulah, bagi beliau, amanah kekuasaan yang baru saja beliau terima adalah ‘musibah besar’. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyadari betul sabda Baginda Nabi SAW: “Sesungguhnya kekuasaan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang diamanahkan didalamnya.” (HR. Muslim).
*****
Dalam Islam, kekuasaan tentu bukan sesuatu yang haram. Bahkan hanya dengan kekuasaanlah Islam di muka bumi ini bisa benar-benar tegak, hukum-hukum Allah bisa kokoh berdiri, umat Islam bisa terlindungi dari ancaman musuh dan risalah Islam bisa tersebar luas dengan dakwah dan jihad. Dengan kekuasaan pula Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain betul-betul bisa terwujud. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan orang-orang salih, zuhud, wara’ dan amanah seperti halnya Umar bin Abdul Aziz atau generasi yang lebih awal, yakni Khulafaur Rasyidin.

Namun demikian, selama penguasa adalah manusia, bukan nabi, mereka berpotensi keliru dan menyimpang dalam menjalankan amanah kekuasaannya. Inilah yang senantiasa ‘menghatui’ generasi salafush-shalih sehingga sejauh mungkin mereka akan menolak jika diberi amanah kekuasaan. Jika akhirnya mereka ‘dipaksa’ harus menerima beban amanah kekuasaan, mereka begitu takut dihisab oleh Allah SWT pada Hari Akhirat nanti jika mereka tidak amanah. Inilah yang tergambar dari ucapan terkenal Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., : “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah SWT akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti.”

Inilah pula yang tergambar dari sikap Khilafah Umar bin Abdul Aziz saat beliau ’ditegur’ oleh putranya, “Ayah, bagaimana jika ada rakyat Ayah yang begitu membutuhkan Ayah, sementara Ayah sedang duduk istirahat di rumah?”

Seketika Khalifah Umar sadar, lalu bangkit dan kembali bekerja melayani rakyat. Padahal Khalifah Umar baru beberapa menit saja melepaskan penat. Keringatpun masih membasahi tubuhnya karena setiap hari hampir sebagian besar waktunya habis untuk mengurus dan melayani rakyatnya. Jangan lupa, sikap dan perilaku para penguasa Muslim yang luar biasa seperti itu adalah saat negara benar-benar menerapkan syariah Islam secara total dalam institusi Khilafah Islamiyah. Artinya, selama mereka ‘lurus-lurus’ saja dan benar-benar menerapkan syariah itu secara benar, kekhawatiran untuk tidak amanah atau berlaku lalim terhadap rakyat seharusnya tidak perlu terjadi.
*****
Jika generasi salafush-shalih begitu khawatir dan takut menjadi penguasa, manusia-manusia zaman sekarang justru berlomba-lomba meraihnya. Dengan segala cara, meski harus menghamburkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, mereka berusaha menwujudkan mimpinya; entah menjadi presiden/wapres, sekedar menjadi kepala daerah, ataupun menjadi wakil rakyat. Dalam hal ini, ‘kebernian’ mereka mengalahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bagaimana tidak! Keduanya, saat menjabat sebagai khalifah, begitu takutnya terhadap hisab Allah pada Hari Akhir nanti atas kepemimpinannya di dunia. Sebaliknya, manusia-manusia zaman sekarang yang sangat ambisi kekuasaan, begitu beraninya ‘menantang’ hisab Allah SWT.

Saat mereka berhasil menjadi penguasa, kepala daerah atau wakil rakyat, bukan kegelisahan dan isak tangis yang mereka tunjukkan (sebagaimana yang ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz), namun kegembiraan dan rasa syukur. Jika demikian, sesungguhnya mereka tidak sedang bersyukur tetapi sedang ber-‘sukur’ (sukr, bahasa Arab; mabuk). Ya, mereka sedang ‘mabuk kekuasaan’. Mereka lupa bahwa dengan kekuasaan, jabatan atau posisi sebagai wakil rakyat yang mereka raih dalam sistem sekular yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah itu, mereka sebetulnya sedang berjalan menuju ke neraka; mereka sedang berlomba masuk ke dalamnya. Wal ‘iyadz billah!.

Diketik ulang dari tulisan Arief B. Iskandar dalam Tabloid Majalah Umat Edisi 11,
21 Rabi’ul Akhir – 11 Jumadil Awwal 1430 H/17 April - 7 Mei 2009.

01 Mei 2009

Mengapa Ujian Nasional?

Setiap tahun diadakan Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Semester Berstandar Nasional (UASBN) dalam rangka menilai proses pembelajaran secara nasional di setiap satuan pendidikan (sekolah). Pemerintah melalui Mendiknas tahun ini meningkatkan nilai standar kelulusan setiap mata pelajaran menjadi minimal 5,5 secara nasional.

Hajatan tahunan ini membuat ketar ketirnya kepala sekolah atau guru yang mengajar bahkan kepala dinas disdik kabupaten/kota dikarenakan standar kelulusan yang cukup tinggi sementara standar sekolah yang berbeda (ada sekolah plus, SBI, dll), fasilitas yang dimiliki belum merata, jumlah guru yang terbatas, fasilitas/sarana prasarana pendukung dalam pembelajaran belum memadai dan berbagai masalah lainnya.

Maka timbul suatu pertanyaan: "Apakah bijaksana menyamaratakan standar kelulusan suatu mata pelajaran sedangkan pemenuhan berbagai hal di atas belum seragam/merata?" Jawaban pertanyaan ini tergantung pada bagaimana pemerintah (dalam hal ini Mendiknas) dapat memenuhi hak masyarakat dalam mendapatkan kesempatan pendidikan yang merata dan pemenuhan standar-standar pendidikan yang digariskan.

Kondisi ini membuat pihak sekolah berusaha untuk memenuhi target yang telah digariskan dari mendiknas atau dinas disdik bahkan dari bupati/walikota yang menginginkan kelulusan seratus persen (100%). Hal ini tidaklah mudah untuk dipenuhi karena menyangkut berbagai fakor dan kondisi sekolah yang berbeda-beda.

Belum lagi di masyarakat beredar rumor adanya kebocoran soal atau ada oknum-oknum tertentu yang menyebarkan kunci jawaban soal-soal selama ujian berlangsung. Mudah-mudahan saja rumor atau isu-isu negatif berkaitan ujian nasional yang beredar tidak benar.

Kita mengharapkan generasi penerus yang amanah, jujur, ulet dan cerdas untuk melanjutkan kepemimpinan bangsa di masa depan sehingga negara kita akan menjadi negara yang baldatun thaibatun warabun ghafur. Amin.