Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Dengan ekspresi sedih, kata-kata itulah yang meluncur dari bibir Umar bin Abdul Aziz sesaat beliau dibaiat menjadi khalifah (Kepala Negara Islam).
Sebelumnya, Umar memang sudah berusaha keras menolak untuk diangkat menjadi Khalifah. Namun, umat tampaknya lebih keras lagi ‘memaksa’ agar beliau bersedia menjadi Khalifah. Lalu terjadilah pembaiatan itu. Akhirnya, dengan ikhlas dan ridha, Umar menerima baiat umat. Namun, hal itu tidak membuatnya tenang. Kegelisahan di dada ia bawa saat pulang ke rumahnya. Ia mengurung di kamarnya. Ia menangis. Dalam benaknya terbayang, jutaan rakyatnya siap menuntutnya dihadapan Pengadilan Allah pada Hari Kiamat nanti jika ia tidak bisa melayani, mengayomi dan melindungi mereka. Karena itulah, bagi beliau, amanah kekuasaan yang baru saja beliau terima adalah ‘musibah besar’. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyadari betul sabda Baginda Nabi SAW: “Sesungguhnya kekuasaan itu amanah. Pada Hari Kiamat nanti ia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haq dan menunaikan apa yang diamanahkan didalamnya.” (HR. Muslim).
*****
Dalam Islam, kekuasaan tentu bukan sesuatu yang haram. Bahkan hanya dengan kekuasaanlah Islam di muka bumi ini bisa benar-benar tegak, hukum-hukum Allah bisa kokoh berdiri, umat Islam bisa terlindungi dari ancaman musuh dan risalah Islam bisa tersebar luas dengan dakwah dan jihad. Dengan kekuasaan pula Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain betul-betul bisa terwujud. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan orang-orang salih, zuhud, wara’ dan amanah seperti halnya Umar bin Abdul Aziz atau generasi yang lebih awal, yakni Khulafaur Rasyidin.
Namun demikian, selama penguasa adalah manusia, bukan nabi, mereka berpotensi keliru dan menyimpang dalam menjalankan amanah kekuasaannya. Inilah yang senantiasa ‘menghatui’ generasi salafush-shalih sehingga sejauh mungkin mereka akan menolak jika diberi amanah kekuasaan. Jika akhirnya mereka ‘dipaksa’ harus menerima beban amanah kekuasaan, mereka begitu takut dihisab oleh Allah SWT pada Hari Akhirat nanti jika mereka tidak amanah. Inilah yang tergambar dari ucapan terkenal Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., : “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah SWT akan meminta tanggung jawabku di Akhirat nanti.”
Inilah pula yang tergambar dari sikap Khilafah Umar bin Abdul Aziz saat beliau ’ditegur’ oleh putranya, “Ayah, bagaimana jika ada rakyat Ayah yang begitu membutuhkan Ayah, sementara Ayah sedang duduk istirahat di rumah?”
Seketika Khalifah Umar sadar, lalu bangkit dan kembali bekerja melayani rakyat. Padahal Khalifah Umar baru beberapa menit saja melepaskan penat. Keringatpun masih membasahi tubuhnya karena setiap hari hampir sebagian besar waktunya habis untuk mengurus dan melayani rakyatnya. Jangan lupa, sikap dan perilaku para penguasa Muslim yang luar biasa seperti itu adalah saat negara benar-benar menerapkan syariah Islam secara total dalam institusi Khilafah Islamiyah. Artinya, selama mereka ‘lurus-lurus’ saja dan benar-benar menerapkan syariah itu secara benar, kekhawatiran untuk tidak amanah atau berlaku lalim terhadap rakyat seharusnya tidak perlu terjadi.
*****
Jika generasi salafush-shalih begitu khawatir dan takut menjadi penguasa, manusia-manusia zaman sekarang justru berlomba-lomba meraihnya. Dengan segala cara, meski harus menghamburkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, mereka berusaha menwujudkan mimpinya; entah menjadi presiden/wapres, sekedar menjadi kepala daerah, ataupun menjadi wakil rakyat. Dalam hal ini, ‘kebernian’ mereka mengalahkan Khalifah Umar bin al-Khaththab atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bagaimana tidak! Keduanya, saat menjabat sebagai khalifah, begitu takutnya terhadap hisab Allah pada Hari Akhir nanti atas kepemimpinannya di dunia. Sebaliknya, manusia-manusia zaman sekarang yang sangat ambisi kekuasaan, begitu beraninya ‘menantang’ hisab Allah SWT.
Saat mereka berhasil menjadi penguasa, kepala daerah atau wakil rakyat, bukan kegelisahan dan isak tangis yang mereka tunjukkan (sebagaimana yang ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz), namun kegembiraan dan rasa syukur. Jika demikian, sesungguhnya mereka tidak sedang bersyukur tetapi sedang ber-‘sukur’ (sukr, bahasa Arab; mabuk). Ya, mereka sedang ‘mabuk kekuasaan’. Mereka lupa bahwa dengan kekuasaan, jabatan atau posisi sebagai wakil rakyat yang mereka raih dalam sistem sekular yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah itu, mereka sebetulnya sedang berjalan menuju ke neraka; mereka sedang berlomba masuk ke dalamnya. Wal ‘iyadz billah!.
Diketik ulang dari tulisan Arief B. Iskandar dalam Tabloid Majalah Umat Edisi 11,
21 Rabi’ul Akhir – 11 Jumadil Awwal 1430 H/17 April - 7 Mei 2009.
1 komentar:
Tulisan ini memberikan inspirasi kepadaku untuk berbuat yang lebih baik lagi. Saya merasa belum apa-apa bila dibandingkan dengan mereka semua yang tawadu' dan istiqamah dalam menjalankan aktivitasnya untuk mendapatkan keridhaanNya. Ya Allah berilah kekuatan kepadaku untuk mampu berbuat pas menurut aturanMu. Amiin.
Posting Komentar