Pemimpin sekarang tidak lagi membicaraakan masalah akhirat, yang keluar dari mulutnya selalu keduniaan, hingga mereka saat ini semakin jauh dari kriteria Islam. Uang menjadi syarat utamanya, bukan moral.
Seorang Menteri Besar Kelantan, Malaysia, Nik Aziz Nik Mat, hidup sangat sederhana. Ia sangat bisa membedakan mana milik negara dan pribadi. Dia menggunakan rumah dinas hanya untuk menyambut tamu negara. Selebihnya, pria sederhana ini tinggal di sebuah rumah kayu bersama keluarganya. Gajinya yang besar lebih banyak disumbangkan untuk beasiswa pelajar Malaysia.
Saat menyuguhkan minuman, Nik Aziz menggunakan gelas kaca yang bentuknya berbeda-beda. Itu pun hanya gelas biasa, yang mudah ditemukan di keramaian pasar rakyat yang dipimpinnya.
Farish Noor, politikus Malaysia, pernah bertemu dengannya tahun 1999. Ketika bertemu lagi sembilan tahun kemudian, Farish melihat pena plastik yang dibawa Nik Aziz sama saat ia bertemu pertama kali. Ketika menggunakannya, Nik Aziz tidak menekan keras penahnya, "Untuk menghemat tinta", kata sang Menteri Besar.
Tidak seperti pejabat yang biasanya membicarakan masalah pendapatan ekonomi atau situasi politik yang bersifat keduniaan semata. Pria kelahiran 1931 ini justru kerap berpidato masalah hidup sesudah mati. "Ingatlah!" tegasnya, "Dunia hanya bersifat temporal. Tidak ada yang hidup selamanya, baik itu yang kuat atau lemah. Yang miskin, atau yang kaya, kelak akan meninggalkan dunia ini."
Di Indonesia sekarang ini, pemimpin mana yang berkata seperti Nik Aziz Nik Mat? Pada 16 April lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, mengomentari kecurangan yang dituduhkan kepadanya. "Tuduhan membabi-buta, apalagi tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa pemilu ini curang dan hasil penghitungan suara KPU yang belum selesai juga dihakimi sebagai tidak benar, tentulah sikap yang prematur dan bukan politik yang baik," ujarnya.
Pada kesempatan yang berbeda, tujuh hari kemudian, Ketua Umum partai Golkar, Jusuf Kalla, berpidato maslah koalisi partai. "Golkar menentukan sendiri partai mana yang bisa menjalin kemitraan, bukan ditentukan kepada pihak yang memilih," katanya berapi-api dan mampu mengubah semangat keluarga besar partai beringin yang dipimpinnya.
Entah kapan SBY dan JK berbicara masalah keakhiratan. Yang jelas sekarang ini, keduanya sibuk memikirkan masalah keduniaan, mempersiapkan diri bertarungt menghadapi pemilu presiden mendatang.
Pemimpin Umat Islam
Dari kedua petarung kursi kepresidenan itu, manakah presiden umat Islam? Ketika ditanya seperti itu, Asep Sobari, pakar sirah nabawiyah, terlihat tersenyum. Menurutnya, masalah kepemimpinan politik memang penting tapi bukan segalanya. "Anggaplah seperti kita buang hajat di WC," ujarnya santai tapi serius.
Ungkapan ini muncul karena kekecewaan Asep dengan para calon pemimpin Indonesia yang tidak satu pun memenuhi kriteria Islam. "Tidak ada yang seperti Nabi Yusuf, sosok yang kuat berpendirian, dan amanah. Amanah itu menunjukkan keikhlasan yang luar biasa," katanya.
Asep berpendapat, pemimpin yang amanah mampu memosisikan dirinya sebagai perwakilan masyarakat yang dipimpinnya, sekaligus sebagai ciptaan Tuhgan di muka bumi ini. "Kelak, semua jejak langkahnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah."
Asep menuturkan kepemimpinan Umar bin Khattab yang sangat merakyat, sebuah contoh kempemimpinan ideal dalam sejarah Islam. Dia menilai, Umar adalah sosok yang terbuka untuk berdialog dengan umat Islam. "Umar adalah pemimpin yang melayani rakyat, bukan malah dilayani," jelasnya.
Ketika mempelajari Umar, Asep menemukan fakta, suatu ketika Umar merawat sendiri onta yang ditungganginya tanpa harus mengangkat staf khusus. Ketika onta itu sakit, Umar sendiri yang mengobatinya di bawah terik matahari. Sempat ada yang kasihan, kemudian menyarankan agar budak saja yang menyembuhkan onta itu ketimbang Umar. Umar menjawab, dirinyalah yang lebih budak karena harus melayani masyarakat banyak.
Dalam sebuah riwayat tentang Umar, Asep mengetahui, rumah pejabat di zaman Umar tidak boleh berpintu gerbang, agar rakyat dapat berdialog setiap saat. "Apalagi ada satpamnya, tidak boleh itu," ujar Asep.
Kalau musim haji tiba, Umar mengundang seluruh pejabantnya berkumpul di Arafah dan mengatakan kepada seluruh umat Islam, siapa saja yang pernah dizalimi Umar, maka mereka dapat meng-qishash Umar pada saat itu juga. "Begitulah pemimpin yang amanah," kata Asep.
Melahirkan pemimpin
Bagaimana cara melahirkan pemimpin yang amanah? Sejarawan ini menyimpulkannya dalam tiga kata, "butuh waktu lama." Setidaknya butuh 40 tahun untuk melahirkan generasi yang siap memimpin kejayaan umat Islam . Bisa jadi lebi dari itu.
Dia mengisahkan bunga rampai perjuangan hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, dalam memperbaiki umat Islam. "Untuk melakukan itu," ujarnya, "al-Ghazali terjun langsung, mendiagnosa penyakit umat Islam, dengan melahirkan karya-karya brilian."
Setelah melakukan itu, pengarang Ihya Ulumuddin ini baru memutuskan perlunya memfilter beberapa poin filsafat Ibnu Sina, menghubungkan antara tasawuf dan fikih. "Sekitar 100 tahun kemudian," tutur Asep, "Baru lahir generasi Salahuddin al-Ayyubi yang mampu membebaskan Yerussalem."
Dulu, Indonesia sempat melahirkan seorang pemimpin yang amanah, membela rakyat sepenu hati. Prasasti sejarah Indonesia telah mengukir nama M. Natsir sebagai sosok perdana menteri yang amanah kepada rakyat. Dia berani mengunjungi Aceh yang pada saat itu sedang konflik, ingin bercerai dari Indonesia.
Ketika berbicara dengan komanda Aceh, Natsir tahu Aceh tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Kemudian Natsir berkata, "Kalau begitu, besok saya akan mencopot jabatan saya sebagai perdana menteri."
Sang komandan bertanya-tanya, kenapa harus begitu. Kemudian Natsir menjawab, "kalau saya terus menjadi perdana menteri, saya akan mengirim pasukan untuk menghabisi saudara saya sendiri," tegasnya. Setelah mendengar jawaban itu, Aceh akhirnya enggan memisahkan diri.
Jika Natsir masih hidup, maka dia tidak akan bisa diam. "Ia akan menyelamatkan Indonesia yang sekarang ini kacau balau, " Kata M. Cholil Badawi, mantan Ketua PW Masyumi Magelang. Bisa dinilai, Natsir adalah sosok pemimpin yang penuh integritas dan bermoral tinggi.
Terkait dengan moral, Adnin Armas, Direktur Eksekutif INSIST (Institute for the study of Islamic Thought and Civilization) mengatakan, itulah syarat yang harus diperhitungkan. Setelah mengamati keadaan politik, dia kecewa dengan calon pemimpin sekarang ini yang sudah banyak mengorbankan harta. Dalam pandangannya, ia melihat pemimpin sekarang tidak lagi harus yang bermoral, padahal itulah syarat utama kepemimpinan dalam Islam.
"Jangan main-main dengan pemimpin! Dia harus memiliki kapasitas untuk berdakwah, bukan orang gila, apalagi kalau ingin dilayani," jelasnya. Adnin menilai, pemimpin sangat penting dalam islam, terlepas bentuknya bagaimana. Seperti yang dikatakan Imam Ghazali, pemimpin itu penjaga agama. Ibarat dua sisi uang logam yang tidak terpisah, kepemimpinan tidak bisa dipishkan dari agama.
"Ini penting," kata Adnin. Ulama terdahulu sudah membahas masalah kepemimpinan. Seperti al-Farabi dalam Ara Ahlul Madinah al-Fadhilah, al-Ghazali melalui Nashihatul Muluk, al-Mawardi yang menulis al-Ahkam as-Sulthaniyah, dan Ibnu Taimiyah dengan as-Siyasah as-Syar'iyyah.
Adnin mengisahkan jejak langkah penemu fonetika bahasa Arab, Abul Aswad ad-Duali. Semasa hidup dulu pernah mengatakan, pemimpin itu penguasa manusia, dan ulama itu penguasa pemimpin. "Bukan ulama yang mendengar penguasa bicara," jelasnya. Mengomentari ulama zaman sekarng yang dianggapnya telah mengecewakan umat. "Jangankan pemimpin, ulamanya saja tidak benar. Jadi penguasanya tidak mau mendengar mereka," tambahnya.
Semoga pemimpin masa depan mampu memperbaiki sistem kenegaraan Indonesia, mampu melahirkan generasi seperti para pemimpin yang disebutkan di atas.
Disalin ulang dari tulisan Erdy Nasrul dalam Majalah Islam Sabili No.22 TH.XVI 26 Jumadil Awal 1430.
Saat menyuguhkan minuman, Nik Aziz menggunakan gelas kaca yang bentuknya berbeda-beda. Itu pun hanya gelas biasa, yang mudah ditemukan di keramaian pasar rakyat yang dipimpinnya.
Farish Noor, politikus Malaysia, pernah bertemu dengannya tahun 1999. Ketika bertemu lagi sembilan tahun kemudian, Farish melihat pena plastik yang dibawa Nik Aziz sama saat ia bertemu pertama kali. Ketika menggunakannya, Nik Aziz tidak menekan keras penahnya, "Untuk menghemat tinta", kata sang Menteri Besar.
Tidak seperti pejabat yang biasanya membicarakan masalah pendapatan ekonomi atau situasi politik yang bersifat keduniaan semata. Pria kelahiran 1931 ini justru kerap berpidato masalah hidup sesudah mati. "Ingatlah!" tegasnya, "Dunia hanya bersifat temporal. Tidak ada yang hidup selamanya, baik itu yang kuat atau lemah. Yang miskin, atau yang kaya, kelak akan meninggalkan dunia ini."
Di Indonesia sekarang ini, pemimpin mana yang berkata seperti Nik Aziz Nik Mat? Pada 16 April lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, mengomentari kecurangan yang dituduhkan kepadanya. "Tuduhan membabi-buta, apalagi tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa pemilu ini curang dan hasil penghitungan suara KPU yang belum selesai juga dihakimi sebagai tidak benar, tentulah sikap yang prematur dan bukan politik yang baik," ujarnya.
Pada kesempatan yang berbeda, tujuh hari kemudian, Ketua Umum partai Golkar, Jusuf Kalla, berpidato maslah koalisi partai. "Golkar menentukan sendiri partai mana yang bisa menjalin kemitraan, bukan ditentukan kepada pihak yang memilih," katanya berapi-api dan mampu mengubah semangat keluarga besar partai beringin yang dipimpinnya.
Entah kapan SBY dan JK berbicara masalah keakhiratan. Yang jelas sekarang ini, keduanya sibuk memikirkan masalah keduniaan, mempersiapkan diri bertarungt menghadapi pemilu presiden mendatang.
Pemimpin Umat Islam
Dari kedua petarung kursi kepresidenan itu, manakah presiden umat Islam? Ketika ditanya seperti itu, Asep Sobari, pakar sirah nabawiyah, terlihat tersenyum. Menurutnya, masalah kepemimpinan politik memang penting tapi bukan segalanya. "Anggaplah seperti kita buang hajat di WC," ujarnya santai tapi serius.
Ungkapan ini muncul karena kekecewaan Asep dengan para calon pemimpin Indonesia yang tidak satu pun memenuhi kriteria Islam. "Tidak ada yang seperti Nabi Yusuf, sosok yang kuat berpendirian, dan amanah. Amanah itu menunjukkan keikhlasan yang luar biasa," katanya.
Asep berpendapat, pemimpin yang amanah mampu memosisikan dirinya sebagai perwakilan masyarakat yang dipimpinnya, sekaligus sebagai ciptaan Tuhgan di muka bumi ini. "Kelak, semua jejak langkahnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah."
Asep menuturkan kepemimpinan Umar bin Khattab yang sangat merakyat, sebuah contoh kempemimpinan ideal dalam sejarah Islam. Dia menilai, Umar adalah sosok yang terbuka untuk berdialog dengan umat Islam. "Umar adalah pemimpin yang melayani rakyat, bukan malah dilayani," jelasnya.
Ketika mempelajari Umar, Asep menemukan fakta, suatu ketika Umar merawat sendiri onta yang ditungganginya tanpa harus mengangkat staf khusus. Ketika onta itu sakit, Umar sendiri yang mengobatinya di bawah terik matahari. Sempat ada yang kasihan, kemudian menyarankan agar budak saja yang menyembuhkan onta itu ketimbang Umar. Umar menjawab, dirinyalah yang lebih budak karena harus melayani masyarakat banyak.
Dalam sebuah riwayat tentang Umar, Asep mengetahui, rumah pejabat di zaman Umar tidak boleh berpintu gerbang, agar rakyat dapat berdialog setiap saat. "Apalagi ada satpamnya, tidak boleh itu," ujar Asep.
Kalau musim haji tiba, Umar mengundang seluruh pejabantnya berkumpul di Arafah dan mengatakan kepada seluruh umat Islam, siapa saja yang pernah dizalimi Umar, maka mereka dapat meng-qishash Umar pada saat itu juga. "Begitulah pemimpin yang amanah," kata Asep.
Melahirkan pemimpin
Bagaimana cara melahirkan pemimpin yang amanah? Sejarawan ini menyimpulkannya dalam tiga kata, "butuh waktu lama." Setidaknya butuh 40 tahun untuk melahirkan generasi yang siap memimpin kejayaan umat Islam . Bisa jadi lebi dari itu.
Dia mengisahkan bunga rampai perjuangan hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, dalam memperbaiki umat Islam. "Untuk melakukan itu," ujarnya, "al-Ghazali terjun langsung, mendiagnosa penyakit umat Islam, dengan melahirkan karya-karya brilian."
Setelah melakukan itu, pengarang Ihya Ulumuddin ini baru memutuskan perlunya memfilter beberapa poin filsafat Ibnu Sina, menghubungkan antara tasawuf dan fikih. "Sekitar 100 tahun kemudian," tutur Asep, "Baru lahir generasi Salahuddin al-Ayyubi yang mampu membebaskan Yerussalem."
Dulu, Indonesia sempat melahirkan seorang pemimpin yang amanah, membela rakyat sepenu hati. Prasasti sejarah Indonesia telah mengukir nama M. Natsir sebagai sosok perdana menteri yang amanah kepada rakyat. Dia berani mengunjungi Aceh yang pada saat itu sedang konflik, ingin bercerai dari Indonesia.
Ketika berbicara dengan komanda Aceh, Natsir tahu Aceh tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Kemudian Natsir berkata, "Kalau begitu, besok saya akan mencopot jabatan saya sebagai perdana menteri."
Sang komandan bertanya-tanya, kenapa harus begitu. Kemudian Natsir menjawab, "kalau saya terus menjadi perdana menteri, saya akan mengirim pasukan untuk menghabisi saudara saya sendiri," tegasnya. Setelah mendengar jawaban itu, Aceh akhirnya enggan memisahkan diri.
Jika Natsir masih hidup, maka dia tidak akan bisa diam. "Ia akan menyelamatkan Indonesia yang sekarang ini kacau balau, " Kata M. Cholil Badawi, mantan Ketua PW Masyumi Magelang. Bisa dinilai, Natsir adalah sosok pemimpin yang penuh integritas dan bermoral tinggi.
Terkait dengan moral, Adnin Armas, Direktur Eksekutif INSIST (Institute for the study of Islamic Thought and Civilization) mengatakan, itulah syarat yang harus diperhitungkan. Setelah mengamati keadaan politik, dia kecewa dengan calon pemimpin sekarang ini yang sudah banyak mengorbankan harta. Dalam pandangannya, ia melihat pemimpin sekarang tidak lagi harus yang bermoral, padahal itulah syarat utama kepemimpinan dalam Islam.
"Jangan main-main dengan pemimpin! Dia harus memiliki kapasitas untuk berdakwah, bukan orang gila, apalagi kalau ingin dilayani," jelasnya. Adnin menilai, pemimpin sangat penting dalam islam, terlepas bentuknya bagaimana. Seperti yang dikatakan Imam Ghazali, pemimpin itu penjaga agama. Ibarat dua sisi uang logam yang tidak terpisah, kepemimpinan tidak bisa dipishkan dari agama.
"Ini penting," kata Adnin. Ulama terdahulu sudah membahas masalah kepemimpinan. Seperti al-Farabi dalam Ara Ahlul Madinah al-Fadhilah, al-Ghazali melalui Nashihatul Muluk, al-Mawardi yang menulis al-Ahkam as-Sulthaniyah, dan Ibnu Taimiyah dengan as-Siyasah as-Syar'iyyah.
Adnin mengisahkan jejak langkah penemu fonetika bahasa Arab, Abul Aswad ad-Duali. Semasa hidup dulu pernah mengatakan, pemimpin itu penguasa manusia, dan ulama itu penguasa pemimpin. "Bukan ulama yang mendengar penguasa bicara," jelasnya. Mengomentari ulama zaman sekarng yang dianggapnya telah mengecewakan umat. "Jangankan pemimpin, ulamanya saja tidak benar. Jadi penguasanya tidak mau mendengar mereka," tambahnya.
Semoga pemimpin masa depan mampu memperbaiki sistem kenegaraan Indonesia, mampu melahirkan generasi seperti para pemimpin yang disebutkan di atas.
Disalin ulang dari tulisan Erdy Nasrul dalam Majalah Islam Sabili No.22 TH.XVI 26 Jumadil Awal 1430.